Cerpen karya anak-anakku..

Tanpa Kata
By : Tria Marta Gusnisa

Air mataku mengalir tanpa hambatan. Di hadapanku ada seseorang yang sangat baik dan sopan. Dia diam tanpa suara, tanpa senyuman, tanpa tawa, tanpa lirikan, dan tanpa gerakan. Terbaring manis menunjukkan pose tidurnya yang dia pikir keren.
“Apa yang terjadi padamu?” tanyaku lirih hampir tak terdengar. Tak kulihat ekspresinya berubah, datar saja, seperti tak terjadi apa-apa. Hanya matanya yang mengisyaratkan bahwa tubuhnya tak mampu tutupi sakitnya.
****
“Putra! Pinjam pena.” pintaku dengan lembut.
“Oh, silakan.” Sambil menyerahkan pena. Aku mengambil pena itu sambil tersenyum manis, dia pun tersenyum padaku. Senyum manisku tiba-tiba berubah. Aku mengangkat pena biru itu lalu menghempaskannya ke lantai.
“Oeh, apa-apaan nih?”
“Heh, ini salahmu!”
“Apa?”
“Kamu ikut mengolok-olok aku tadi, bukan?”
“Ya! Tapi bukan aku saja yang begitu”
“Mmm kau jahat!”
“Tria!” teriaknya saat aku keluar.
“Triiiiiiiing” lonceng istirahat berdering sudah. Mengakhiri pertengkaranku dengan Putra, lelaki yang sebenarnya aku kagumi kelembutan hatinya. Perlahan kelembutan hati lelaki itu merubahnya. Perasaan itu kini makin sesak di dada.

Di Pagi hari aku telah disibukkan dengan alat-alat memasak. Aku harus menenteng wajan dan panci sendirian ke sekolah. Tapi bagiku itu tidak masalah. Dengan jarak rumah yang tidak lebih dari 5 meter, aku dapat membawanya dengan santai. Aku melangkah penuh percaya diri menuju dapur sekolah yang berada di ujung koridor.
Aku masuk, teman sekelompokku telah menunggu di depan meja hidangan. Mataku langsung tertuju pada lelaki yang berdiri tegap dengan senyum yang terukir di wajahnya, Putra. Akhirnya aku dapat membalas senyumannya walupun hati ini rasa akan meledak.
“Mmm sekarang lakukan bagian masing-masing. Tria, kamu bagian memanggang dengan Putra.” Kata ketua kelompok dengan tegas. Kami melangkah keluar lalu memanggang ikan di tanah bekas adukan semen. Aku duduk santai sambil menyalakan api.
“Putra sering masak di rumah?”
“Ah, hanya nasi goreng.” Jawabnya malu-malu.
“Oh... Jadi ini pertama kalinya memanggang ikan?”
“Ya.” jawabnya sambil mengangguk.
“Eh, tidakkah kamu khawatir. Kita terlalu jauh dari mereka!”
“Mmm biarkan saja. Toh ada kamu. Bagiku kamu saja sudah cukup. Haha” Putra tersenyum melirikku. Aku mengalihkan pandanganku ke bawah.
“Hmm lumayan.” kataku kemudian.
“Apanya?”
“Duar” suara ledakan itu mengalihkan perhatian kami. “Duar” sekali lagi suara itu ternyata berasal dari tempurung yang kami bakar. Kami hanya diam dan memperhatikan. Ledakan kembali terjadi, kali ini mengenai Putra. Aku panik, siswa telah berdatangan. Aku dan Putra segera mengambil air dan memadamkan apinya.
Setelah api padam, siswa yang semulanya ada di tempat itu pun menghilang. Aku melihat ke arah Putra. Sejenak kami terdiam satu sama lain. Beberapa detik kemudian kami tertawa terbahak-bahak.
“Bagaimana bisa meledak?”
“Entahlah.”
“Putra tangannya...?”
“Ah, sudahlah.” jawabnya santai.
“Sudahlah kita goreng saja ikannya!” tambahnya.
Kami meninggalkan bara api yang sudah padam itu kemudian kembali ke dapur. Namun, aku tak menemukan seorangpun di sana. Aku berlari menuju laboratorium IPA yang saat itu dijadikan ruang makan. Dari kejauhan aku dapat melihat semua siswa telah selesai makan. Aku menunduk kesal.
“Yah, habis. Kita tidak bisa makan berdua deh.”
“Bisa!” kataku spontan saja.
“Maksudku kita berdua tidak ikut makan bersama, hehe.”
“Hehe” aku tertawa menahan malu.
Siang itu dilanjutkan dengan pertandingan olahraga antarkelas. Putra yang saat itu bermain sepak bola sesekali melirik dan tersenyum padaku. Sejenak terlintas di pikiranku bahwa Putra menaruh hati padaku. Cepat-cepat aku buang jauh pikiran itu dan kembali menikmati menonton pertandingan yang hampir usai ini. Aku tetap bahagia meskipun kelasku tidak memenangkan pertandingan.

Hari ini Idul Adha. Aku dan temanku, Rati pergi ke Benai Kecil dengan mengendarai sepeda motornya. Aku melihat ke langit. Langit begitu cerah tapi terik matahari tidak mampu menyentuh kulitku. Keadaan langit begitu aneh, namun aku tidak mempedulikannya lagi. Yang ada di benakku hanya Putra dan Putra.
Tiba-tiba Rati menghentikan sepeda motornya. Aku sedikit terdorong ke depan.
“Kenapa?”
“Ada telepon.” Jawabnya sembari mengambil Handphone di saku belakang celananya.
Sementara Rati mengangkat telepon aku menyempatkan diri melihat sawah dari kejauhan. Hijaunya padi menyejukkan mata yang melihat. Tiba-tiba saja sebuah sepeda motor berhenti dan menghalangi pandanganku. Perempuan itu melambaikan tangannya. Rati yang selesai menelpon langsung mengajakku pergi meninggalkan perempuan yang ternyata teman sekelasku.
“Kenapa, Ti?”
Rati tidak menjawab maupun menoleh. Aku semakin bingung. Sepanjang perjalanan aku hanya menanyakan itu saja. Tapi Rati tidak pernah mau menjawab.
“Perasaanku tidak enak. Kita pulang yuk!”
Rati tidak menghiraukan permintaanku, dia menghentikan sepeda motornya tak jauh dari bengkel tua di Benai. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, aku dapat melihat kerumunan orang di depan bengkel tua itu. Rati menarik tanganku lalu kami berlari menuju kerumunan orang itu.
Air mataku menaglir dengan mudahnya. Menatap jalan yang penuh dengan kerumunan orang. Dari sela-sela keramaian itu dapat kulihat darah yang tergenang di aspal. Aku semakin takut dan cemas. Rati membawaku keluar dari kerumunan itu.
“Si..siapa?” tanyaku gugup.
“Pu...tra.” katanya sambil menangis.
*****

0 komentar:



Posting Komentar